Sabtu, 21 Januari 2012

Imlek dan Solidaritas Sosial



Imlek dan Solidaritas Sosial
Oleh Achmad Fauzi

SUARA KARYA - ONLINE >>>Jumat, 20 Januari 2012
Warga Tionghoa kembali merayakan Imlek 2563. Ragam suasana kemeriahan dalam menyambut Tahun Baru China itu menghiasi sudut-sudut kota. Berbagai ornamen Imlek mulai dari lampu lampion, gambar para dewa, hio dan dupa, patung naga, dan ucapan selamat 'Gong Xi Fa Cai', terpajang di banyak toko, mal, tak terkecuali perumahan-perumahan etnik Tionghoa.

Pasca-Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 yang memberikan kebebasan etnik Tionghoa kembali menjalankan acara-acara agama, kepercayaan, dan adat-istiadat, memberikan harapan baru bagi warga Tionghoa setelah puluhan tahun mengalami politik diskriminasi. Imlek yang dahulu dirayakan secara sembunyi-sembunyi, kini menjadi perayaan terbuka.

Namun, perayaan Imlek 2563 tidak cukup diukur dengan gemerlapnya lampion, patung dewa, ucapan selamat Gong Xi Fa Cai dan kemewahan Imlek lainnya. Imlek diharapkan menjadi perayaan yang tidak melupakan kondisi sosial sekitarnya. Ibarat anggota badan, yang satu sedang tertimpa musibah, yang lain ikut berempati.

Imlek harus menjadi momentum untuk membuktikan kepada khalayak bahwa etnik Tionghoa betul-betul menjadi seorang Indonesia yang menyorot segala problem dan kepentingan orang Indonesia-Tionghoa dari bingkai kepentingan bangsa Indonesia, bukan ikatan primordial. Ini juga menjadi strategi esensialisme, di mana karakter masyarakat Tionghoa sebagai entitas sosial yang peduli terhadap sesama kembali dihadirkan dalam proses politik pengakuan (politics of recognition).

Banyak kesaksian bahwa warga keturunan Tionghoa mengaku benar-benar menjadi orang Indonesia (yang beretnik) Tionghoa, bukan lagi seorang 'Tionghoa Indonesia' yang cenderung kurang patriotik dan terkadang diragukan status kewarganegaraannya. Artinya, orang Indonesia Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia. Berfikir, bersikap dan berperilaku sebagai orang Indonesia, menyorot segala problem dan kepentingan orang Indonesia Tionghoa dari bingkai kepentingan Bangsa Indonesia. Orang Indonesia Tionghoa adalah orang yang dilahirkan, tumbuh, berkembang, berkarya dan mati di bumi Pertiwi sebagai orang Indonesia.

Kini, warga Tionghoa punya tanggung jawab besar dalam membangun, membela, dan mempertahankan Indonesia dari segala potensi munculnya disintegrasi. Patriotisme tidak cukup dibuktikan dengan penghormatan kepada bendera merah putih di setiap upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan. Warga Tionghoa bukan sebagai komunitas pasif, melainkan mempunyai tugas menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Karena nasionalisme dan patriotisme dibangun berdasar Indonesia multikultural, maka segala identitas peradaban, etnik, budaya maupun agama yang dimiliki harus diolah secara produktif untuk menghindari konflik rasial yang dapat merusak keutuhan bangsa. Warga Tionghoa juga berkewajiban sebagai penghantar yang baik dalam konteks kerja sama ekonomi, pendidikan dan budaya, antara Indonesia-China.

Sejatinya Imlek merupakan perayaan yang dilakukan oleh para petani di China berkaitan dengan datangnya musim semi. Ia lebih merupakan sebuah titik penanda dari siklus perubahan alam yang menjadi batas antara berakhirnya musim dingin dan permulaan musim semi. Pada musim semi inilah para petani mulai kembali menggarap lahannya. Namun, mengingat di Tiongkok kuno, banyak pemeluk Konghucu, Tao, atau Buddha, lalu Imlek kental dengan nuansa keagamaan. Bagi pemeluk Konghucu, Imlek merupakan hari raya keagamaan, memperingati kelahiran Konfusius, atau sering disebut Gong Zi.

Biasanya dalam Imlek diisi acara sembahyang kepada Sang Pencipta dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak.

Prof Kong Yuanzhi (2005) melihat Imlek sebagai perayaan yang memiliki relasi dengan sejarah panjang agama dan kepercayaan yang mereka anut, yakni Buddha, Taoisme, Konghucu, nilai-nilai kultus orang tua, dan kepercayaan-kepercayaan tradisional lainnya. Oleh karenanya, Yuanzhi menempatkan Imlek sebagai wahana mempererat nilai-nilai silaturahmi dan kepedulian sosial yang notabene menjadi ajaran fundamental agama Tao.

Bagaimana jika perayaan Imlek difokuskan untuk bersilaturahmi ke panti asuhan atau kegiatan kemanusiaan lainnya? Mungkin kegiatan semacam itu akan lebih bermakna daripada sekadar euforia kebebasan. Apalagi, di Indonesia banyak Paguyuban Masyarakat Tionghoa yang sudah terbiasa bergelut dalam gerakan sosial.

Contohlah, seorang Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia pada September 1932, yang biarpun bukan hartawan ia selalu memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukan. Dialah yang sejak semula menjadi pelopor hapusnya diskriminasi rasial demi mempermudah dipupuknya rasa senasib antara semua putera Indonesia, termasuk etnis Tionghoa.

Marilah kita jadikan Imlek sebagai sarana membangun solidaritas sosial. Bukan sebagai ajang unjuk kemewahan yang cenderung elitis dan tak berguna. Imlek memang lahir dari sebuah pengharapan masyarakat agraris terhadap datangnya musim tanam. Namun, dalam perkembangannya bisa diterjemahkan sebagai momentum bagi etnik Tionghoa untuk menabur benih pengharapan kepada orang-orang yang tidak lagi punya harapan, sehingga mereka bisa menata hidupnya kembali seperti layaknya manusia yang memiliki masa depan. ***

Penulis adalah Hakim PA Kotabaru Kalsel,
aktivis multikulturalisme dan dialog lintas agama.