Minggu, 28 September 2014

PT Kereta Api Luncurkan Lokomotif Uap Sun

TEMPO.CO, Bandung - PT Kereta Api Indonesia merampungkan restorasi lokomotif uap pabrikan Hanomag Hanover seri SS600 buatan tahun 1900. "Tadinya dia monumen, gak ada mesinnya, tapi kita berhasil merestorasinya dalam waktu setahun setengah," kata VP Conservation, Maintanance, and Architecture Design PT Kereta Api Indonesia, Ella Ubaidi di Bandung, Ahad, 28 September 2014.
Lokomotif uap ini merupakan, kereta warisan Belanda ketiga yang berhasil dihidupkan lagi. Ella mengatakan, rencananya lokomotif uap yang dinamai Sun, atau matahari ini, akan dioperasikan untuk menarik kereta wisata di Solo. "Akhir tahun ini mungkin sudah bisa jalan di Solo," kata dia. Ella mengatakan, seluruh sertifikasi dan perizinan laik jalan sudah dikantungi oleh lokomotif ini. Rencananya, kereta ini akan beroperasi menarik kereta wisata di Solo dengan rute Tuntang-Kedungjati. Lokomotif Sun itu akan menarik lima gerbong kayu dengan kapasitas tiap gerbongnya 42 penumpang. Pengoperasiannya akan bekerjasama dengan pemerintah Kota Solo. "Startnya Stasiun Jabres yang akan kita jadikan stasiun kick-off untuk kereta-kereta sejajarah seperti ini," kata Ella. Ella mengatakan, PT Kereta Api merogoh duit perusahaan hingga Rp 400 juta untuk menghidupkan lagi kereta uap itu. Lokomotif produksi 1889 itu sempat beroperasi melayani rute Rangkasbitung-Tenabang sampai tahun 1960, sebelum rusak dan dijadikan monumen di Museum Kereta Api Ambarawa sejak 1976. Menurut Ella, perusahaannya sempat menawarkan restorasi lokomotif uap itu pada salah satu perusahaan, tapi batal diteruskan karena biayanya menembus Rp 12 miliar. Setelah berdiskusi dengan pensiunan pegawai kereta yang pernah mengoperasikan lokomotif itu, biaya itu kemahalan. Sejak Oktober 2011 proses restorasi dikerjakan. "Semua dikerjakna pensiunan pegawai kereta api," kata dia. Ella mengatakan, pemerintah Belanda membantu restorasi kereta itu dengan memberikan gambar rinci lokomotif itu. Pemerintah Belanda juga menjanjikan memberikan bantuan serupa jika PT Kereta Api berniat merestorasi lagi kereta tuanya. "Kita harus menemukan gambar aslinya, kan sudah tidak ada detilnya, isinya, ukurannya berapa, pemerintah Belanda membantu support sumber dan narasumber," kata dia. Menurut Ella, dari 1.200 kereta api warisan Belanda, hanya bersisa 30 unit yang masih relatif utuh bentuknya tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. "Terakhir kami menemukan di Pekanbaru sudah jadi bangkai, kereta uapnya Jepang," kata dia. Rampungnya restorasi lokomotif tua itu menjadi hadiah hari ulang tahun PT Kereta Api Indonesia ke 69 yang jatuh hari ini. Lokomotif tua itu diberi nama Sun, yang berarti matahari. AHMAD FIKRI

Selasa, 16 September 2014

`Kaji Nunut`, Kisah Legendaris Penyusup ke Tanah Suci

Reporter : Eko Dream - 'Kaji nunut'. Mungkin Anda pernah mendengar kisah ini. Cerita Choiron Nasichin, yang menyusup ke pesawat haji untuk pergi ke Tanah Suci. Pria asal Jombang, Jawa Timur, itu tak punya uang untuk berhaji. Sehingga pada 1992, dia diam-diam nebeng pesawat rombongan haji yang berangkat dari Bandara Juanda.
Choiron memang sudah ngebet naik haji sejak awal 1990. Namun, dia tak punya uang untuk membayar ongkos haji yang kala itu berkisar Rp 6 juta. Segala upaya dia lakukan. Tak hanya diam berdoa saja, pria asal Kecamatan Sumobito itu bahkan rajin mengirim undian berhadiah dengan harapan bisa membayar ongkos naik haji. Bahkan dia mengaku pernah mengirim 900 kupon untuk sebuah undian. Di kampungnya, Choiron memang sudah dipanggil haji oleh warga. Bukan karena sudah naik haji, gelar itu disematkan karena dia selalu memakai kopiah putih, yang diidentikkan dengan orang yang telah menunaikan rukun Islam ke lima itu. Sehingga itu pula yang membakar semangatnya. Niatnya untuk naik haji semakin menggebu setelah mendapat hadiah lima gram emas dari undian yang diadakan produsen sampo. Tak berpikir panjang, dia langsung menguangkan emas itu. Uang Rp 70 ribu pun dia dapat. Dia sadar, uang itu masih jauh dari cukup untuk berhaji. Namun dia tak pikir panjang. Uang itu sebagian langsung dia belanjakan untuk persiapan haji pada tahun 1992 itu. Sandal, pakaian ihram, dan alat lainnya. Uang undian itu tinggal Rp 49.950. Alhamdulillah... sang ibu memberinya tambahan bekal Rp 5 ribu saja. Tetap saja, uang itu jauh dari cukup. Otak dia peras untuk menemukan cara bagaimana bisa sampai ke Tanah Suci dengan bekal Rp 54.950 itu. Sampailah dia pada pikiran untuk nunut alias nebeng. Seperti kebiasaannya waktu itu, yang selalu nebeng truk jika pergi ke mana-mana. Kala itu, dia siap dengan risiko diturunkan di tengah jalan jika diminta turun karena ketahuan. Pamitlah dia kepada sang ibu, Siti Khoniah. Dia berpesan, apabila dalam dua hari tak balik ke rumah, berarti dirinya sudah sampai ke Tanah Suci untuk berhaji. Bismillah..... Choiron berangkat ke Surabaya dengan naik bus. Perjalanan dari terminal ke bandara ditempuh dengan bemo. Pria yang kini usianya hampir setengah abad itu tiba di bandara siang hari. Namun, dia kecewa. Sebab waktu itu tak melihat tanda-tanda adanya rombongan haji yang akan berangkat. Sehingga, dia hanya termenung di lapangan udara yang terletak di wilayah Sidoarjo itu. Beberapa saat kemudian, dia bisa merasa lega. Sebab, seseorang memberi tahu bahwa sekitar pukul 19.00 WIB akan ada rombongan haji yang terbang ke Arab Saudi. Matanya berbinar. Asa untuk naik haji kembali menyala. Benar saja. Begitu matahari sudah tenggelam, rombongan haji Kloter IX terlihat riuh di pelataran bandara. Karena niat berhaji yang sudah sangat tebal, Choiton tak ragu bergabung dengan mereka. Bahkan dia mengaku sempat foto-foto bersama rombongan tamu Allah itu. Lantas masuklah rombongan itu. Tapi Choiron tertinggal di luar. Karena memang tak punya dokumen apapun untuk pergi haji. Satu-satunya cara, masuk lewat pagar bandara. Dan pikiran tersebut benar-benar dia lakoni. Dia kemudian masuk ke pesawat yang terparkir. "Sambil wirid, saya jalan biasa saja. Tidak ada yang menegur sampai saya berada di atas pesawat," kata dia dalam sebuah wawancara. Menyusuplah Choiron ke pesawat Garuda itu. Tak ada satu pun jamaah haji dan kru pesawat yang curiga. Karena sadar tengah nebeng, dia tak duduk di kursi penumpang. Dan memilih berdiam di atas kursi pramugari. Hingga seorang pramugasi menegurnya, mengapa duduk di kursi pramugasi. "Saya jawab nggak apa-apa karena saya nunut," tutur dia. Pramugari itu hanya tersenyum karena mengira Choiron yang berkata jujur itu tengah bercanda. Choiron bahkan juga memperoleh makan dan minum seperti jamaah haji lainnya. Tibalah saat itu. Seorang pramugari meminta dokumen perjalanan Choiron. Dan aksi 'penyusupan' itu akhirnya terbongkar. Seisi pesawat menjadi geger. Bagaimana bisa di pesawat ada penumpang gelap? Choiron dianggap sebagai orang gila. "Waktu ketahuan jika saya tidak punya dokumen, ya saya bilagn terus terang, kalau saya ini memang nunut. Jadi ya ndak punya apa-apa. Jangankan dokumen yang tidak saya ketahui artinya. Uang saja saya nggak punya kok." Beruntung, dalam pesawat itu ada orang yang mengenal Choiron. Mereka adalah Harto dan Yazid Abdullah yang memang satu desa dengan Choiron. Kedua orang inilah yang meyakinkan seisi pesawat, termasuk kru, bahwa Choiron bukanlah orang gila. Yazid membela Choiron dengan panjang lebar. "Pak Yazid Abdullah itu guru madrasah saya. Beliau meyakinkan kalau saya bukan orang gila. Dia juga bilang, saya warga satu desa dengannya. Saya miskin, tapi berniat betul menjadi haji karena sudah lama dipanggil Pak Haji," ujar Choiron. Karena penjelasan itu, Choiron malah mendapat simpati dari jamaah haji. Choiron bahkan diupayakan bisa mendapat paspor agar bisa naik haji dengan biaya ditanggung seluruh anggota Kloter IX itu. Namun sayang, upaya itu tidak berhasil dan Choiron harus pulang. Di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, Choiron sempat disembuyikan oleh pramugari di toilet pesawat agar tak diketahui pihak imigrasi Saudi. Pintu toilet dikunci dan diberi tulisan "rusak". Trik ini berhasil dan Choiron lolos dari razia. Setelah itu, Choiron dipulangkan ke Tanah Air. Di sinilah pengalaman Choiron menjadi `raja` dimulai. Sebab, pesawat yang biasa mengangkut ratusan jamaah haji itu kini dia tumpangi sindirian. Film dan makanan, hemmm.... bisa dia nikmati sesukanya. Semua gratis! "Jadi, meski saya ini di kampung miskin, tapi saya mampu carter pesawat khusus," ujar Choiron. Ulah nebeng ini mendapat perhatian luas. Sejak itu dia dijuluki sebagai "kaji nunut" alias "haji nebeng". Lagi-lagi, julukan haji tersemat meski belum bisa menunaikan ibadah haji di Mekah. Namun, sejak itu pula simpati berdatangan. Sejumlah pihak menawarinya untuk naik haji. Hingga akhirnya dia bisa benar-benar naik haji dengan bantuan Haji Tosim pada 1994. Menariknya, Choiron kala itu tak sekedar berhaji. Dia bahkan sempat memasuki kawasan Istana Raja Fadh, yang merupakan kawasan tertutup bagi orang biasa. Dalam komplek istana itu pula ia sempat bertemu dengan rombongan pejabat dari Indonesia, termasuk menteri. Choiron kembali naik haji pada 2005. Lagi-lagi gratis, karena dibiayai seorang pengusaha. Tapi, meski sudah dua kali menunaikan rukun Islam ke lima itu, Choiron tetap saja dijuluki "Kaji Nunut". (Dari berbagai sumber)