Posted by Henny on May 2, '08 2:47 AM for everyone Berawal dari iklan selai Morin, gadis cantik kelahiran Jakarta (8 November 1989) ini merambah ke sinetron. Chacha, begitu ia biasa disapa, lalu diajak SinemArt bermain dalam Kisah Sedih di Hari Minggu. Dalam sinetron ini ia berperan sebagai cewek antagonis bernama Desy. Debut pertamanya di sinetron ini sangat berkesan baginya.
“Saya suka dengan peran protagonis dan antagonis. Buat saya keduanya memiliki tantangan tersendiri. Lagipula, manfaatnya juga banyak. Selain menambah pengalaman, juga membentuk karakter saya di sinetron,” ungkap Chacha yang bercita-cita ingin menjadi dokter spesialis kulit.
Bungsu dari tiga bersaudara pasangan Doddy dan Herra ini pada mulanya dikenal sebagai bintang iklan. Selain iklan selai Morin, Chacha pernah tampil dalam iklan Hexos, Komix, Miwon, Sharp, dan Yaiki Duo. Kini sederet judul sinetron telah dilakoninya, di antaranya: Anak Cucu Adam, Big Is Beautiful, Bunda, Djalil, Pangeran Penggoda, Penyihir Cinta, Putri yang Terbuang, Tante Tuti, Ular Putih, dan Wulan.
“Alhamdulillah, saya selalu dapat peran yang asyik-asyik. Saya selalu berusaha untuk berakting dengan natural. Tapi, penonton yang menilai akting saya sudah cukup bagus atau masih kurang,” kata cewek mungil ini santai.
http://hennydiva.multiply.com/journal/item/2
Minggu, 11 Januari 2009
Sabtu, 10 Januari 2009
Monggo, Coklat Unik dari Jogya
Harian Kompas,Selasa, 6 Januari 2009 | 10:54 WIB
Ada cokelat unik di Yogyakarta buatan pria bule. Namanya, Cokelat Monggo. Rasanya pas, kemasannya pun sangat khas Kota Gudeg.
Awal kisahnya, di tahun 2001, seorang pria asing asal Belgia bernama Thierry Detournay, berkunjung ke Yogya. Sebagai warga Belgia yang doyan cokelat berkualitas tinggi, Thierry kesulitan mencari cokelat yang memenuhi seleranya.
Mulailah Thierry membuat cokelat. Dari jenis truffle sampai cokelat-cokelat kecil. "Teman-teman bilang, cokelat buatan saya enak dan belum pernah mencoba cokelat seperti itu. Di Belgia, saya pernah ikut pelatihan meracik cokelat dengan ahlinya," ujar Thiery yang fasih berbahasa Indonesia.
Belakangan, ia bertemu Edward Riando Picasauw alias Edo dan sepakat menekuni bisnis cokelat. "Modalnya cuma Rp 150 juta," kenangnya. Mereka sempat berjualan pakai Vespa di halaman gereja sebelum akhirnya membuka toko.
Tak disangka, jualan mereka laku. "Akhirnya kami bikin CV Anugerah Mulia dan memakai label Cokelat Monggo." Nama itu sengaja dipilih karena gampang diingat dan sangat familiar untuk masyarakat Indonesia.
Konsep memadukan cita rasa Barat dan Timur itu ternyata sukses dijalankan Thierry dan Edo. Salah satu produk unggulan Cokelat Monggo adalah Dark Chocolate.
"Kami menggunakan 58 % kokoa tanpa campuran minyak nabati, supaya rasanya benar-benar cokelat." Aneka variasi pun dibuat. Salah satunya praline yang diberi kacang mete karena di sini susah mendapatkan hazelnut atau walnut.
Ayah satu putri ini memastikan, kualitas cokelat racikannya tidak kalah bersaing dengan yang asal Eropa, yang terkenal sangat nikmat. "Kami bikin tanpa bahan pengawet, semua alami. Prosesnya juga berbeda. Tidak semua orang bisa melakukan."
Saat ini, setiap hari Thierry dibantu 55 karyawan dan bisa memproduksi hingga 1.000 buah cokelat, baik untuk bentuk batangan maupun kemasan khusus. Semua adonan masih dikerjakan sendiri oleh pria yang menikah dengan wanita asal Solo tersebut.
Proses pengerjaan masih dilakukan Thierry dengan cara manual. Semua cokelat diproduksi di sebuah rumah kecil di kawasan Kotagede. Keunikan lain dari kreasi Thiery terletak pada kemasannya. Mengusung konsep eco-friendly, cokelat dikemas dengan kertas daur ulang berdesain khas.
Ada cokelat unik di Yogyakarta buatan pria bule. Namanya, Cokelat Monggo. Rasanya pas, kemasannya pun sangat khas Kota Gudeg.
Awal kisahnya, di tahun 2001, seorang pria asing asal Belgia bernama Thierry Detournay, berkunjung ke Yogya. Sebagai warga Belgia yang doyan cokelat berkualitas tinggi, Thierry kesulitan mencari cokelat yang memenuhi seleranya.
Mulailah Thierry membuat cokelat. Dari jenis truffle sampai cokelat-cokelat kecil. "Teman-teman bilang, cokelat buatan saya enak dan belum pernah mencoba cokelat seperti itu. Di Belgia, saya pernah ikut pelatihan meracik cokelat dengan ahlinya," ujar Thiery yang fasih berbahasa Indonesia.
Belakangan, ia bertemu Edward Riando Picasauw alias Edo dan sepakat menekuni bisnis cokelat. "Modalnya cuma Rp 150 juta," kenangnya. Mereka sempat berjualan pakai Vespa di halaman gereja sebelum akhirnya membuka toko.
Tak disangka, jualan mereka laku. "Akhirnya kami bikin CV Anugerah Mulia dan memakai label Cokelat Monggo." Nama itu sengaja dipilih karena gampang diingat dan sangat familiar untuk masyarakat Indonesia.
Konsep memadukan cita rasa Barat dan Timur itu ternyata sukses dijalankan Thierry dan Edo. Salah satu produk unggulan Cokelat Monggo adalah Dark Chocolate.
"Kami menggunakan 58 % kokoa tanpa campuran minyak nabati, supaya rasanya benar-benar cokelat." Aneka variasi pun dibuat. Salah satunya praline yang diberi kacang mete karena di sini susah mendapatkan hazelnut atau walnut.
Ayah satu putri ini memastikan, kualitas cokelat racikannya tidak kalah bersaing dengan yang asal Eropa, yang terkenal sangat nikmat. "Kami bikin tanpa bahan pengawet, semua alami. Prosesnya juga berbeda. Tidak semua orang bisa melakukan."
Saat ini, setiap hari Thierry dibantu 55 karyawan dan bisa memproduksi hingga 1.000 buah cokelat, baik untuk bentuk batangan maupun kemasan khusus. Semua adonan masih dikerjakan sendiri oleh pria yang menikah dengan wanita asal Solo tersebut.
Proses pengerjaan masih dilakukan Thierry dengan cara manual. Semua cokelat diproduksi di sebuah rumah kecil di kawasan Kotagede. Keunikan lain dari kreasi Thiery terletak pada kemasannya. Mengusung konsep eco-friendly, cokelat dikemas dengan kertas daur ulang berdesain khas.
Langganan:
Postingan (Atom)