Selasa, 25 Mei 2010
SELAI NANAS DAN RAMBUTAN GORENG
Wajah Desa Tangkil Baru, Kecamatan Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, agak berbeda dari lingkungan di sekitarnya. Rumah-rumah penduduknya khas dalam arsitektur bugis. Tepat di jantung desa ini berdiri sebuah tugu dengan patung buah nanas pada bagian pucuknya.
Identitas bugis semakin tampak ketika kami berkunjung ke rumah tiang milik Siti Arifah (50). Apalagi ketika mulai bercakap-cakap, karena mereka sehari-hari relatif berkomunikasi dalam bahasa daerah tersebut.
Kabarnya, kampung ini dibangun almarhum Syeh Muhammad Said (Puang Muhammad) dan 20 sahabat. Almarhum adalah kakek dari suami Siti Arifah, Andi Tola Patabila (70). Mereka adalah pelarian dari Bugis saat konflik berlangsung tahun 1960-an.
Meski telah puluhan tahun menetap di Tangkil Baru, Siti Arifah kurang fasih berbahasa melayu. "Maaf ya, saya bisanya bahasa bugis. Maklum, saya bukan orang sekolahan," tuturnya.
Namun, Siti Arifah yang tak sekalipun mengenyam pendidikan, baca maupun tulis, kini sukses sebagai pengusaha lewat produk "Jaya Indah". Bahkan, dari usaha ini dia dan suaminya berhasil menyekolahkan ke-12 anak mereka, sebagian di antaranya sampai perguruan tinggi.
Usaha Arifah adalah memproduksi selai nanas goreng, rambutan goreng, selai pisang goreng, kacang sembunyi, dan ikan teri. Dari semua produknya itu, yang khas dan laris adalah selai nanas dan rambutan goreng.
Setiap hari, Siti Arifah dibantu lima karyawan yang masih termasuk keluarga. Anak pertamanya, Andi Mimahaya, sampai kini turut menjadi penanggung jawab usaha sampai ke pemasaran. Adapun anak Arifah nomor 10, Andi Isma (17), meski masih di bangku sekolah menengah atas, setiap hari ikut membantu usaha orangtuanya. Dia membantu sang ibu mulai dari mengupas buah sampai mengemasnya.
Produksi selai nanas dan rambutan goreng Arifah setiap hari masing-masing sekitar 15 kilogram. Selain dipasarkan ke toko- toko swalayan di wilayah Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi, produk Arifah juga dikirim ke Palembang dan Pekan Baru.
Produk selai nanas dan rambutan goreng sebanyak sekitar 30 kilogram per hari itu nyaris selalu habis. Artinya, dalam sehari omzet usaha Arifah mencapai sekitar Rp 690.000.
Dari kebun sendiri
Usaha pengolahan selai nanas dan rambutan goreng tak lepas dari kehidupan warga desa yang umumnya berkebun. Areal tanah milik suaminya seluas lima hektar lebih itu pun ditanami nanas dan rambutan.
Alasan memilih jenis tanaman itu sebab tanah rawa desa ini cocok untuk nanas. Dalam satu pekan sebanyak 400-an buah nanas bisa dipanen. Buah nanas ini semula dijual langsung ke pasar dengan harga murah. Bahkan, kini pun buah nanas cuma dihargai Rp 500 per buah.
Tahun 1999 barulah Arifah terpikir untuk mengolah nanas menjadi makanan yang lebih tahan lama dan memperoleh harga lebih baik. Semula, perempuan yang gemar memasak ini mengolah nanas menjadi selai.
Setelah beberapa waktu, Arifah mendapat ide untuk menggoreng selai-selai nanas tersebut dalam baluran tepung terigu. Hasilnya, kue-kue ringan berwarna cokelat kekuningan.
Sesuai bahan bakunya, dia menamainya "kue selai nanas". Rasanya gurih dan renyah pada bagian luar serta terasa lembut selainya ketika bagian dalam kue masuk mulut.
Arifah tak menambahi gula pada adonan kue. Alasannya, dia tak ingin kuenya terasa amat manis. Ini justru akan membuat konsumennya cepat merasa kenyang. "Setelah diolah dan menjadi kue selai nanas goreng, ternyata banyak orang suka," tuturnya.
Kue selai nanas buatan Arifah ini dikemas dalam tiga ukuran, kemasan berberat satu ons, 250 gram, dan 500 gram. Supaya kemasan tampak lebih menarik, ia menempatkan kue selai nanas goreng 250 gram dalam keranjang anyaman bambu. Kue selai nanas dalam kemasan anyaman bambu ini ternyata menjadi pilihan orang untuk oleh-oleh penganan khas dari Jambi.
Giliran rambutan
Tak puas dengan kue selai nanas goreng, Arifah mulai mengutak-atik buah rambutan. Buah rambutan yang segar dan mengandung banyak air itu pun berubah menjadi penganan kecil atau kue kering.
Arifah bercerita, buah rambutan yang telah dikupas diolahnya sedemikian rupa sampai kering. Meski begitu, agar tetap sebagai rambutan, dia sengaja membiarkan biji buah itu di tempatnya.
Rambutan yang sudah kering kemudian digoreng dalam baluran tepung terigu yang telah dicampur sedikit garam. Di bengkel usaha Arifah yang menempati sebagian rumah tinggalnya itu, seluruh proses produksi dilakukan. Untuk setiap proses disediakan ruang yang berbeda, mulai dari pengupasan buah, penggorengan, penjemuran, hingga pengepakan.
Sedangkan untuk pengepakan kue, dia menyediakan kamar khusus. Di ruang pengepakan ini siapa pun yang masuk tak boleh merokok. Arifah sangat disiplin mengenai hal ini. Alasannya, demi menjaga kebersihan, rasa, dan aroma makanan.
Harga penganan kecil buatan Arifah relatif terjangkau sebagian masyarakat. Kue selai nanas goreng, misalnya, dijualnya dengan harga Rp 21.000 per kilogram, kue rambutan goreng Rp 25.000 per kg.
Di samping kedua produk penganan utamanya itu, Arifah juga membuat semacam keripik pisang goreng seharga Rp 25.000 per kg. Meski keripik pisang ini hanya sesekali saja dibuatnya.
"Konsumen ternyata lebih suka kue selai nanas dan rambutan goreng, makanya saya tidak selalu membuat snack pisang. Snack pisang untuk pelengkap saja," ujar Arifah yang meningkatkan produknya sampai sekitar dua kali lipat dari hari biasa pada hari-hari menjelang Lebaran.
Irma Tambunan
Copyright 2007 Kompas
Tags: muaro jambi, oleh-oleh, selai, rambutan, nanas, goreng, camilan, bugis
Prev: Si Segar Penyehat Jantung
Next: Oncom di Jero Aliran Baru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar